IJMA’
DISUSUN OLEH:
Muhammad tri kusmawan tandju
Guru pembinbing:
Ustad ikram arlan l.C
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................................... vi
DAFTAR
ISI......................................................................................................................... vii
PENDAHULUAN................................................................................................................ 4
POKOK
PEMBAHASAN.................................................................................................... 5
BAB 1 PEMBAHASAN...................................................................................................... 6
PENGERTIAN
DAN FUNGSI IJMA’............................................................................... 6
RUKUN-RUKUN IJMA..................................................................................................... 10
SYARAT IJMA................................................................................................................... 11
KEHUJJAHAN
IJMA’......................................................................................................... 12
MACAM-MACAM IJMA’.................................................................................................. 14
FUNGSI IJMA’................................................................................................................... 17
PROBLEMATIKA
IJMA’................................................................................................... 18
CONTOH-CONTOH
HUKUM YANG DIDASARI IJMA’............................................. 19
MENGAPLIKASIKAN
IJMA’........................................................................................... 19
KEDUDUKAN IJMA’ DALAM PEMBINAAN HUKUM ISLAM................................ 22
KEDUDUKAN
DAN STATUS AL-IJMA’ DALAM AJARAN ISLAM......................... 24
CARA
PENGGUNAANNYA............................................................................................. 25
TINGKATAN
IJMA’........................................................................................................... 26
KESIMPULAN..................................................................................................................... 28
PENUTUP............................................................................................................................. 28
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................... 29
KATA PENGANTAR
Puji syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan ke haribaan Penguasa Semesta yang meluapkan
samudra-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah ini
sebagai tugas mata kuliah Ushul fiqh.
Sholawat serta
salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Rosululloh SAW yang telah
menyingkap tabir kejahiliyyahan menuju era kebebasan berfikir yakni Din Al
Islam.
Semoga Allah SWT
melimpahkan anugrah cinta-Nya pada kita semua.
Sehingga kita memiliki hati yang senantiasa dipenuhi oleh aura cinta-Nya
yang murni.
Sebagai manusia
yang takluput dari salah pembuat makalah ini menyadari bahwa Makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan .Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati,sangat mengharapakan
saran dan kritik konstruktif demi penyempurnakan makalah ini.Semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagidiri saya, dan bagi orang lain secara umum, denganizin-Nya
BAB I
PENDAHULUAN
Harus
dikemukakan sejak awal bahwa ijma’ itu tidak terlepas dari penyandaran terhadap
Al-Qur’an dan As-Sunnah, . Sebagai doktrin dan dalil syari’ah, ijma’ pada
dasarnya ijma’ merupakan dalil rasional. Teori ijma’ juga jelas bahwa ia
merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak konsensus mutlak dan universal
sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun konsensus mutlak mengenai materi ijma’
yang bersifat rasional sering kali sulit terjadi. Adalah wajar dan masuk akal
untuk hanya menerima ijma’ sebagai realitas dan konsep yang falid dalam
pengertian relative, tetapi bukti factual tidak cukup untuk menentukan
universalitas ijma’. Definisi klasik dan syarat esensial ijma’ sebagai mana
ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat jelas bahwa tak kurang dari
konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat dianggap sebagai ijma’ yang
meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun ruang bagi ketidak sepakatan,
atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’. Teori ijma’ juga tidak mau menerima
gagasan relatifitas atau tidak mau menerima kesepakatan darinya.........................
Ijma’ merupakan kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada
suatu masa atas hukum syara’ . oleh karena itu , menurut Hanafi , dalam ijma’
terkandung hal-hal berikut :
1.
Kebulatan
dapat terwujud apabila pendapat seseorang sama dengan pendapat lain.
2.
Apabila ada
yang tidak sependapat , tidak akan ada ijma’ tanpa kesepakatan secara
keseluruhan ijma’ , tidak terjadi , tetapi pendapat terbanyak dapat dijadikan
hujjah
4.
Kebulatan
pendapat harus real , artinya semua menyatakannya , baik dengan lisan , tulisan
, atau isyarat .
6.
Kebulatan
pendapat dari kelompok tertentu , bukan merupakan ijma’ , sebab ijma’ disini
adalah ijma’ ummah seluruh umat bersepakat .
[1] Boedi Abdullah, ilmu ushul fiqh,
Bandung : CV pustaka setia, 2008. Hal. 165
Terjadinya ijma’ disebabkan oleh berbagai hal yaitu :
1.
Karena
pernah terjadi , dan hal itu diakui secara mutawatir .
2.
Pada masa
awal islam , para mujtahid masih sedikit dan terbatas sehingga memungkinkan
mereka untuk melakukan ijma’ dan menetapkan suatu hukum. Akan tetapi ,
melakukan ijma’ yang diakui validitasnya oleh ulama ahli ushul , hanyalah ijma’
sahabat, karena jumlah sahabat yang sedikit pada zamannya. Sahabat adalah orang
yang bertemu , bergaul dengan Nabi SAW. dan banyak menyaksikan sebab-sebab
turunnya ayat al-qur’an .
3.
Ijma’ tidak
akan terjadi , tidak akan ada dan tidak akan pernah ada , karena persoalan
agama ,sejak diutusnya nabi hingga kiamat , merupakan masalah yang disepakati .[2]
II.
Pokok Pembahasan
a.
Pengertian
dan fungsi ijma’
b.
Rukun-rukun
ijma’
c.
Syarat ijma’
d.
Kehujjahan
ijma’
e.
Macam-macam
ijma’
f.
Fungsi ijma’
g.
Problematika
ijma’
h. Contoh-contoh hukum yg didasari ijma
i. mengaplikasikan ijma’
j. KedudukanIjma’ dalamPembinaanhukum Islam
k.Kedudukan dan Status Al-Ijma’ dalam Ajaran
Islam
l. Cara
Penggunaannya
m. Tingkatan
Ijma’
[2] Ibid hal. 166
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan fungsi ijma’
Ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad
terhadap suatu persoalan. Atau kesepakatan tentang sesuatu masalah.[1][1]
Ijma' secara
bahasa juga bisa diartikan ( العزم
والاتفاق )
Niat yang kuat dan Kesepakatan. Dan secara istilah berarti
اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي
"Kesepakatan
para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
terhadap suatu hukum syar'."
Penjelasan :
1. ( اتفاق
) "kesepakatan" yaitu adanya khilaf walaupun dari satu orang,
maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma'.
2. ( مجتهدي
) "Para mujtahid" berarti orang awam dan orang yang bertaqlid, maka
kesepakatan dan khilaf mereka tidak dianggap sebagai ijma'.
3. ( هذه الأمة ) "Ummat ini" adalah Ijma' selain mereka (ummat
Islam), maka ijma' selain mereka tidak dianggap.
4. ( بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم ) "Setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah kesepakatan mereka pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka tidak dianggap sebagai ijma' dari segi keberadaannya sebagai
dalil, karena dalil dihasilkan dari sunnah nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
baik dari perkataan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena itu
jika seorang shahabat berkata : "Dahulu kami melakukan", atau
"Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam ", maka hal itu marfu' secara hukum, tidak dinukil sebagai
ijma'.
5. ( على حكم شرعي ) "terhadap hukum syar'i" yaitu kesepakatan mereka
dalam hukum akal atau hukum kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini,
karena pembahasan dalam masalah ijma' adalah seperti dalil dari dalil-dalil
syar'i.
Secara etimologi, ijma’ berarti “kesepakatan”
atau konsensus[3]
Pengertian ini dijumpai dalam Al-Qur’an surat An-nisa
(115) :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًاوَمَن يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.(QS.An-Nisa’:115)"[4]
Pengertian
etimologi kedua dari ijma’ adalah (ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat Yunus, 10: 71:
... maka
bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah) sekutu-sekutumu.
[3] DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.51
Perbedaan
antara pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang
berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan
untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.[5]
Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dari beberapa
rumusan atau definisi ijma’ sebagai berikut:
a) Al-Ghazali merumuskan ijma’dengan:
اتِّفَاقُ
جَمِيعِ الْمُجْتَهِدِينَ مِنْ أُمَّةِمُحَمَّدٍ فِي عَصْرٍ مَا بَعْدَ عَصْرِهِ عَلَى أَمْرٍ
شَرْعِيٍّ
Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu
urusan agama.
Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat
Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad
atau umat Islam. Pandangan Imam Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i
yang menetapkan ijma’ itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya
didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat
secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’i ini mengalami
perubahan dan perkembangan di tangan pengikutnya di kemudian hari.
b) Al-Amidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’:
Ijma’ adalah
kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal ‘Aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi
umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.
Kelihatannya
Imam al-Amidi membatasi ijma’ itu pada kesepakatan orang-orang tertentu
dari umat Nabi Muhammad, yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengungkai
dan pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat
Islam. Dalam hal ini orang awam tidak diperhitungkan kesepakatannya. Namun
lebih lanjut terlihat, bahwa al-Amidi masih memberikan kemungkinan masuknya
orang awam dalam penetapan ijma’ dengan ketentuan ia telah mampu berbuat
hukum. Untuk maksud ini al-Amidi memberikan alternatif definisi ijma’ sebagai
berikut:
[5]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.51
Kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada
suatu masa atas hukum suatu kasus.
Definisi yang
dikemukakan ulama Ahl al-Sunnah berkisar di sekitar definisi yang
dikemukakan al-Amidi tersebut di atas meskipun berbeda dalam perumusannya,
yakni, kesepakatan orang yang bernama ulama atau ahl as-halli wa al-‘aqdi.
c)
Definisi yang berbeda secara substantial adalah apa
yang dikemukakan ulama Syi’ah. Mereka tidak menitikberatkan pada kata ‘semua”.
Tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai
wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk tujuan ini ulama Syi’ah merumuskan
definisi ijma’ sebagai berikut:
Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka
dalam menetapkan hukum syara’
Ulama Syi’ah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh
dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena menurut mereka kesepakatan
kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri di luar apa yang telah
ditetapkan olah Qur’an dan Sunnah. Bagi mereka ijma’ itu hanya untuk
menemukan adanya Sunnah yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum
atau terbebas dari dosa yang dalam hal ini, menurut mereka, adalah Nabi
Muhammad dan Ahlul bait (Keturunan Nabi dari Fathimah serta Hasan dan
Husen).
d) Al-Nazham (pemuka kelompok Nazhamiyah, satu pecahan
dari Mu’tazilah) mengemukakan rumusan lain tentang ijma’.
Setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.
Maksudnya:
“Setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah,
meskipun ucapan seseorang’’.[6]
[6]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.113-114
B.
Rukun- Rukun Ijma’
Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah :
kesepakatan para mujtahid lah teknis hukum atau dari umat islam pada suatu masa
atas hukum Syara definisi ini dapat di ambil kesimpulan bahwa rukun ijma dimana
menurut Syar’i ia tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaanya, adalah empat,
yaitu:
Pertama: adanya sejumlah para mujtahid pada saat
terjadinya suatu peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat
tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendaapat sesuai
dengan pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat
sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali,
atau hanya di temukan seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan terjadi
ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa
Rosululloh SAW ., karena hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.
Kedua: adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan
umat islam terhadap hukum Syara mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu
terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok
mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri makkah dan madinah saja
ataupun para mujtahid negri irak saja, atau mujtahid negeri hijaz saja, atau
para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan
Syi’ah sepakat atas hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka dengan
kesempatan kusus ini tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena ijma’ itu tidak
bisa terjadi kecuali dengan kesempatan umum dari semua mujtahid dunia islam
pada masa suatu kejadian selain mujtahid tidak masuk penilaian.
Ketiga: Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan
mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang
pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat
masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya Ia memberikan fatwa
mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu
putusan mengenainya; baik masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya
pendapat mereka, atau mereka menemukakan pendapat, mereka secara kolektif,
misalnya para mujtahid di dunia islam mengadakan suatu konggres pada suatu masa
terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, dan
setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat
atau satu hukum mengenainya.
Keempat: bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau
suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat,
maka kesepakatan yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’, kendatipun amat
sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang
sepakat karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih
ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak
lainya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah
Syar’iyah yang pasti dan meningkat.[7]
C. Syarat Ijma’
Di samping rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula
syarat-syarat ijma’, yaitu:
1) Yang
melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad.
2) Kesepakatan
itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya).
3) Para
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul
fiqh. Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:
1) Para
mujtahid itu adalah sahabat.
2) Mujtahid itu
kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh
menyebutnya dengan ijma’ shahabat.
3) Mujtahid itu
adalah ulama Madinah.
4) Hukum yang
disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid
yang menyepakatinya.
5) Tidak
terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama.[8]
[7]Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm.57
[8]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.53-54
D.
Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah
terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti),
wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang
mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah
ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut para ahli ushul fiqh tidak
boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang
ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan
menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah al-Qur’an dan Sunnah.[9]
Alasan Jumhur Ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa ijma’
merupakan hujjah yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai
dalil syara’ adalah:
1. Firman Allah
swt. Dalam surat al-Nisa’ ayat 59:
Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Alah dan taatilah Rasul dan uli al-amri di
antara kamu...
Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, lafal uli al-amr dalam
ayat itu bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid
dan pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan perangkatnya).
Ibn ‘Abbas menafsirkan uli al-amr ini dengan para ulama.
Ayat lain yang dikemukakan Jumhur Ulama adalah surat al-Baqarah,ayat
143, Ali Imran ayat 110, dan al-Syura ayat 10. Imam Ghazali
(450-505 H/1058-1111 M), mengemukakan ayat lain yang dijadikan Jumhur sebagai
alasan kehujjahan ijma’ , yaitu firman Allah dalam surat al-Nisa ayat
115,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Barang siapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang
mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.
[9]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.54
Menurut al-Ghazali, ayat ini menunjukkan bahwa Allah
menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam
sebagai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan menentang Allah dan
Rasul-Nya hukumnya haram.
2.
Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda
Rasulullah saw.:
Umatku tidak
akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (H.R.
al-Tirmidzi)
Dalam lafaz
lain disebutkan:
إِنَّ
أُمَّتِي لاَ يَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
Umatku tidak
akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan.
Dalam hadits
lain Rasulullah saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ باِلجَمَاعَةِ وَإيَّاكُمْ وَالفُرْقَةَ
فَإِنََّ الشَّيْطَانَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الإِثْنَيْنِ أَبْعُد[10]
Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai,
karena syetan bersama yang sendiri dan dengan dua orang lebih jauh. (HR
At-Tirmidzi)
Lebih lanjut Rasulullah saw. bersabda:
منْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ
رِبْقَةَ الإِسْلامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلاّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَلَّى وَصَامَ؟ قَالَ : وَإِنْ صَلَّى وَصَامَم
Dari al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW
bersabda:’Siapa yang meninggalkan jamaah sejengkal, maka telah melepaskan
ikatan Islam dari lehernya kecuali jika kembali. Seseorang bertanya,’ Wahai
Rasulullah, walaupun dia sudah mengerjakan shalat dan puasa?’. Maka Rasulullah
SAW menjawab:’Walaupun dia shalat dan puasa.’ (HR Ahmad dan at-Turmudzi)
Seluruh hadits itu menurut Abdul Wahhab Khalaf,
menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati seluruh mujtahid sebenarnya
merupakan hukum umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid
mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits-hadits di atas, tidak
mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid mereka maka tidak ada
alasan untuk menolaknya.[11]
[10]Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah
At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut: Dar Al-fikr 1996. Hal. 123
[11]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.56
E. Macam-macam ijma’.
Macam-macam ijma’ jika dilihat dari cara terjadinya
ada dua macam, yaitu :
1.Ijma’ Sharih:Yaitu semua mujtahid
mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa
atau qadha (memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan
atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian
menyepakati salah satunya. Ijma’ sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’
yang dijadikan hujjah syar’iyyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut
juga dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi.
2.Ijma’ Sukuti :Yaitu
pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid
lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut
secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa
kriteria berikut :
a.Diamnya mujtahid itu betul-betul
tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda
yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka
tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat
tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan
ijma’sukuti.
b.Keadaan diamnya para mujtahid itu
cuku lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya
dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.
c.Permasalahan yag difatwakan oleh
mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil
yang bersifat dzanni. Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau
yang bersumber dari dalil-dalil qath’I, jika seorang mujtahid mengeluarkan
pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu
tidak bisa disebut ijma’.[31]
[31] Drs. Muin
Umar, dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta : Departemen Agama, 1985). Hal : 105-106
Mengenai
ijma’ sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat, yaitu sebagai berikut
:
1.Imam Syafi’I dan mayoritas fuqaha
mengemukakan : tidak memasukkan ijma’ sukuti ini kedalam kategori ijma’.
Mereka beralasan bahwa orang yang
diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang berpendapat. Oleh karena itu,
jika diam dipandang sebagai ijma’, berarti diam itu dapat dianggap sebagai
pembicaraan yang dinisbatkan kepada serorang mujtahid yang belum tentu menerima
pendapat tersebut.
Selain itu diam juga tidak dianggap
sebagai setuju, karena dimungkinkan banyak faktor yang membuatnya diam.
Misalkan diamnya mujtahid itu mungkin dia setuju, mungkin di belum berijtihad
dalam masalah tersebut, atau mungkin ia telah berijtihad tapi belum mendapatkan
hasil yang mantap dan banyak juga kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja
terjadi.
Dengan demikian, diam tidak dapat
dipandang sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.
2.Sebagian fuqaha yang lain berpendapat
: memasukkan ijma’sukuti dalam kategori ijma’. Hanya saja kekuatanya dibawah
ijma’ sharih.
Sebagian fuqaha itu beralasan bahwa
pada dasarnya diam tidak dapat dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung
atau berfikir. Selain itu, pada umumnya tidak semua pemberi fatwa (mufti)
memberikan keterangan pada suatu masalah. Tetapi yang umum pada setiap masa
(generasi) adalah para mufti besar memberikan fatwa, sedang ulama yang lain
menerimanya.
3.Ijma’ sukuti dapat dijadikan
argumentasi (hujjah) akan tetapi tidak termasuk dalam kategori ijma’. Ulama
yang berpendapat demikian, mereka beralasan bahwa meskipun ijma’ sukuti tidak
memenuhi kriteria ijma’, tidak setiap orang alim mengemukakan pendapatnya, akan
tetapi dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seorang ulama lebih kuat
menunjukkan arti setuju, dibanding sikap menentang.
Jika ditinjau dari segi yakin atau
tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada :
1.Ijma’ qath’i, yaitu hukum
yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I atau diyakini benar terjadinya, tidak
ada kemungkinan lain bahwa hukum adalah peristiwa atau kejadian yang telah
ditetakan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
2.Ijma’ dzanni, yaitu hukum
yang dihasilkan ijma’ itu adalah dhanni. Masih ada kemungkinan lain bahwa hukum
dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad
orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Selain macam-macam ijma’ diatas,
dalam kitab-kitab ushul fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang
dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang
melaksanakannya.[30] Ijma’-ijma’
itu adalah :
a.Ijma’ sahabat, yaitu ijma’
yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
b.Ijma’ khulafaur rasyidin,
yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi
Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu
hidup.
c.Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’
yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.
d.Ijma’ ahli madinah, yaitu
ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah. Madzhab Maliki menjadikan ijma’
ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam.
e.Ijma’ ulama kuffah, yaitu
ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’
ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Ijma’ tidak dipandang sah, kecuali
bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri
sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah ttidak sah.
Sandaran ijma’ yang berupa dalil Al-Quran seperti firman Allah SWT. Surat
An-Nisa ayat 23 :Artinya:
[30]Prof. Dr.
Rahmat Safe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007). Hal.
72-73
Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
F.
Fungsi Ijma’
Yang dimaksud fungsi ijma’ di sini adalah kedudukannya dihubungkan
dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu,
menurut ulama Ahl as-Sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan
sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama Syi’ah, ijma’ itu adalah hanya
untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini
terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’ dilihat
dari sudut pandangan masing-masing kelompok.
Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk
kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu
dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq
Allah yang telah dianugrahkan kepada ulama yang melakukan ijma’ tersebut.
Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat
mandiri.
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya
sandaran untuk suatu ijma’ dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’
itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran
itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya lemah atau zhanni menjadi dalil
yang kuat atau qath’i, baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas.[13]
[13]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.133-134
G.
Problematika ijma
Kebanyakan ahli ushul menetapkan, bahwa ijma’ menurut
makna atau ta’rif yang diberikan oleh kebanyakan ahli ushul, dipandang suatu
dasar dari dasar-dasar syari’at sebagai yang sudah dijelaskan.
Akan tetapi, jika
masalah ini dibahas dengan seksama, ditinjau dari segala aspeknya jelaslah
bahwa : masalah menjadikan ijma’ sebagai dasar agama, atau hujjah, bukanlah
masalah yang disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin walaupun mereka
membenarkan ta’rif ijma’ yang telah diterangkan, menetapkan bahwa ijma’ yang
seperti itu tidak mungkin terjadi.
Imam Ahmad bin Hanbal
menetapkan bahwa “kemungkinan terjadinya ijma’ sesudah masa sahabat tak dapat
diterima lagi karena para ulama islam telah bertebaran sampai kepelosok.
Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai kata sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal
yang mudah lagi, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil dan belum pernah kita
dengar bahwa mereka seluruhnya telah berkumpul di kota itu untuk menyepakati
sesuatu hukum. Bahkan imam Ahmad itu mengingkari terjadinya ijma’ yang
diartikan dengan arti ahli ushul itu di masa sahabat sendiri. Beliau mengatakan
“barang siapa mengatakan berarti ia telah berdusta”. Cukuplah ia katakan “aku
tak tahu ada orang yang menyalahi pendapat ini”. Karena boleh jadi telah ada
yang menyalahi yang belum sampai berita ini kepadanya.
Abu Muslim Al Ashfahani
mengatakan bahwa “ para ulama menetapkan bahwa ijma’ sahabat itu dipandang
(diterima) ijma’ orang dibelakang sahabat diperselisihi. Abu Muslim menetapkan
pula, bahwa ijma sesudah sahabat tak mungkin diketahui ada/terjadi. Dia
menandaskan bahwa “sukar kita mengetahui ada/terjadi ijma’ selain dari ijma’
sahabat yang masih sedikit jumlah orang-orang yang dipandang ahli ijma’.
Keadaan itu memungkinkan meraka berkumpul atau memberi persetujuan kepada
sesuatu pendapat orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal
setempat, adapun sekarang sudah islam tersebar ke seluruh pelosok, banyak
bilangan ulama, tak mungkin lagi kita meyakini ada terjadinya ijma’ (kata
sepakat) diantara mereka itu. Apa yang ditetapkan Abu muslim ini itulah yang
dipegang teguh oleh Ahmad yang masih dekat masanya kepada masa sahabat dan yang
sangat luas hafalannya terhadap segala urusan yang dinukilkan.
Ringkasnya ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin
terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah
sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah
ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.[14]
H. Contoh – contohhukum yang didasariIjma’
a.
Pengangkatan Abu Bakar as –
SiddiqsebagaikhalifahmenggantikanRasulullah SAW
b.
Pembukuan Al – qur’an yang dilakukan pada masa
Khalifahabubakarr.a.
c.
Menentukanawalbulanramdhandanbulansyawal..
Ijma’
merupakansumberrujukanketiga.Jikakitatidakmendapatkandidalam Al Qur’an
dandemikian pula sunnah, makauntukhal yang sepertiinikitamelihat, apakahhaltersebuttelahdisepakataiolehparaulamamuslimin,
apabilasudah, makawajibbagikitamengambilnyadanberamal.[15]
I. Mengaplikasikan Ijma’ di Zaman Kotemporer
Kontektualisasi Ijma’
1. Ijma’ Pada Masa Klasik
Sejarah tasyri’ Islam telah
menorehkan tintanya bahwa ijtihad pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar
dan Umar dan tidak seorangpun sahabat yang menafikan kenyataan itu. Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Maimun bin Mahran bahwa jika khalifah Abu Bakar dan Umar
dihadapkan dengan suatu pertentangan atau masalah, maka akan mencari jawabannya
di dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi, dan jika tidak menemukan jawaban maka
mereka akan memanggil dan mengumpulkan para tokoh kaum muslimin pada saat itu
dan para ulama’ untuk diajak musyawarah, berijtihad dan mencari jawaban, dan
hal ini juga dikatakan oleh al-Juwaini. Dan merupakan bukan hal yang meragukan
lagi bahwa pada waktu itu tidak semua para ulama’ yang dikumpulkan, karena para
ulama’ tidak dalam satu tempat tetapi tersebar di berbagai daerah seperti di
Makkah, di Syam dan di Yaman dan jika menunggu keseluruhan para ulama’
terkumpul maka akan membutuhkan waktu yang
lama. [16]ijma’ yang dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’
tentang keharaman
[14]Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
1997. Hlm.193
[15] Drs. Suratno,dkk, Modul
Siap Un Kemenag, hlm 134
[16] Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektifterjemah Syamsuddin TU
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h. 14-16.)
Contoh ijma’ yang dilakukan pada
masa sahabat seperti menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’
ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut
mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam
ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan. [17]
Sebagaimana dijelaskan di atas,
bahwa jika ada masalah yang tidak ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an
maupun Sunah maka bermusyawarah dengan para ulama’ untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Seperti khalifah Umar ketika itu mengumpulkan para sahabat untuk
membahas masalah pembagian penghasilan hasil bumi Irak dan tanah-tanah taklukan
lainnya yang merupakan ghanimah perang. Ternyata mereka sepakat untuk
membiarkan tanah itu diolah penduduk aslinya dan tidak membagikannya kepada
para pasukan. Demikianlah yang mereka lakukan sepanjang masa hayat hingga masa
itu berganti dan orang-orang sepeninggal mereka menjalankan apa yang telah
disepakati. [18]
2. Ijma’ Pada Masa Modern
Salah satu hikmah yang
dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an
berupa materi-materi yudisial yang terbatas
sebagaimna dunia matematika yang tidak memberi kemungkinan inovasi pemikiran
kreatif (ijtihad).
Seiring perputaran yang
terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru
yang belum dikenal oleh ulama terdahulu bahkan belum tersirat di benak para
ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu
tidak relevan lagi, dan hal inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran
berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu
berubah dan berkembang. [19]
Para cendekiawan Islam (ulama)
banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi konsensus (Ijma’).
Perbedaan pendapat mereka, menurut Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dilandaskan
oleh dua hal: Pertama, Penentuan para personal yang mempunyai validitas untuk
berkonsensus (dianggap konsensusnya). Kedua, Penentuan corak
permasalahan-permasalahan yang dianggap dalam konsensus. [20]
[17]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul
Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 127-128.
[18]Abdul Majid Asy-Syarafi,.
Op. Cit., 18
[19]Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai
Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti,
2000), h. 6.
[20]Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun Fi
Ushul il-Fiqhi (Yordania: Daar un-Nafais), h. 12
Terlepas dari perdebatan soal
terminologisnya, ia disepakati (al-Muttafaq Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah
al-Qur’an dan Hadits.
Dari posisinya yang ketiga
tersebut, konsensus memiliki peran signifikan & kuat dalam pengambilan
hukum-hukum Islam. Apalagi ia diakui terbebas dari kekeliruan (Ma’shumun An
il-Khothoi) dan kesesatan, berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW: “Umatku
tidak berkonsensus dalam kesesatan” (HR. Ahmad & at-Thabarani).
Konsepsi konsensus dimulai sejak
era sahabat (ash-Shahabah) setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi
dengan sistem syura ketika terdapat permasalahan yang tidak ditemukan
jawabannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Sistem syura tersebut tak lain adalah
mirip dengan sistem ijtihad kolektif yang diterapkan oleh forum-forum ijtihad
kolektif kontemporer. Karena menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, jika ijtihad
dilakukan dengan sistem kolektif maka ia adalah konsensus (Ijma’), namun jika
dilakukan secara individual maka ia adalah silogisme (Qiyas). [21]
Para ulama’ sepakat bahwa ijma’
merupakan dasar pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun
dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya terjadi
pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa sekarang.
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf
Qardhawi bahwa seyogyanya dalam menyelesaikan permasalahan baru yang besar
tidak cukup dengan ijtihad individu (fard) tetapi hendaknya melakukan
tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i atau yang sekarang dikenal
dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan bermusyawarah tentang
semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat
penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif lebih mendekati
kebenaran daripada pendapat perseorangan. Hanya saja ijtihad kolektif bukan
berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil penelitian
orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid. [22]
[21]Wahbah Az-Zuhayli, Ushul ul-Fiqh il-Islami, jilid 1
(Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr), 486-48
[22]Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan
Berbagai Penyimpangannya, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 138-139
J. KedudukanIjma’ dalamPembinaanhukum Islam
Jumhurulama’ berpendapat bahwa
kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al
– Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan
wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al – Qur’an maupun
sunnah.[23]
Ulama ushulfiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam
yang qathi. Jika sudah terjadi ijma( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap
ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan
mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’
merupakan hujjah yang qathi’ sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut
:
a.
Firman AllahSWT :
يا ايهاالذذين امنو اطيعواللّه واطيعواالرّسول واولى
الامر منكم (النساء: 59 )
Artinya :
“ wahai
orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan Ulil
amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )
Maksud Ulil
‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa dan
Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini
berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu
keputusan hukum yang disepakati mereka.
b.
Hadist
RasulullahSAW
انّ امذتي لا تجمع على ضلالة ( رواه ابن حاجه )
Artinya :” SesungguhnyaumatKutidakakanbersepakat atas kesesatan.”
مارءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : “ apa yang dipandangolehkaummusliminbaik,
makamenurutpandanganAllah juga baik.”[24]
[23]Prof. Dr. H.
Amir S, Ushul Fiqh.( 2009), hlm. 138
[24]Drs. Suratno,dkk, Modul Siap Un
Kemenag, hlm 133
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang
sama–sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara
dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam.
Pandanganulama’ mengenai Ijma’ sukuti :
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan
pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan
setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid
yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan hukum,
karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju
dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan
tegas, berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah mengataka jika diamnya sebagian ulama’
mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’. Dan pendapat ini dianggap
lebih kuat daripada pendapat perorangan.[25]
[25]Prof. Dr. H. Satria M. Zein, MA, Ushul
fiqh, ( Jakarta, 2005 )
K.Kedudukan dan Status Al-Ijma’
dalam Ajaran Islam
Ijma’ bisa dijadikan hujjah atau
alasan dalam menetapkan hukum kalau yang menjadi dasar adalah Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT. Dalam QS. An-Nisa ayat
59 : Artinya :
“ Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)….” (QS. An-Nisa
: 59)
Para ulama yang menenapkan bahwa
ijma’ itu hujjah, menetapkan pula bahwa ijma’ tersebut terletak dibawah derajat
kitabullah dan sunnah Rasul an ijma’ itu tidak boleh menyalahi nash yang qath’I
(kitabullah dan hadits masyhur).
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
nilai hujjah ijma’ ialah nilai dhanni bukan qath’i. Karena nilai hujjah ijma’
adalah dhanni, menurut pandangan kebanyakan ulama, maka ijma’ itu dapat
dijadikan hujjah atau dipegangi dalam urusan amal, tidak dalam urusan I’tikad.
Mengingat dalam urusan I’tikad haruslah ditetapkan oleh dalil yang bernulai
qath’i.
Menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah,
jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah (argumentasi),
berdasarkan dua dalil berikut :
1.Hadits-hadits yang menyatakan
bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Apa yang menurut
pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik. Oleh karena itu amal
perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi
(hujjah).
2.Firman Allah dalam surat An-Nisa
ayat 115
Artinya :“ Dan barang siapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya , dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang mukmin. Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia kedalam jahannam dan jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa : 115)[26]
[26] Drs. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh I.
(Jakarta : Departemen Agama, 1985). Hal : 105-106
L. Cara Penggunaannya
Mayoritas ulama ushul fiqh
mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa berasal dari dalil yang qath’I, yaitu
Al-Quran, Sunnah Mutawatir serta bisa juga berdasarkan dalil dhanni, seperti
hadits ahad. Sedangkan ulama dzahiriyyah, syi’ah, dan ibnu Jarir Al-Thabari
mengatakan bahwa landasan ijma’ itu harus dalil yang qath’i. Menurut mereka,
ijma’ itu dalil yang qath’I. Suatu dalil yang qath’I, tidak mungkin didasarkan
kepada dalil dzanni. Disamping itu, seorang mujtahid boleh menolak ijtihad
mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas.
Para ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan maslahah mursalah sebagai landasan ijma”. Para ulama yang menerima
maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung oleh nash yang rinci, tidak
pula ditolakmoleh nash, tetapi didukung oleh sejumlah makna nash) sebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum menyatakan bahwa ijma’ bisa didasarkan pada
maslahah mursalah, dengan syarat apabila kemaslahatan itu berubah, maka ijma
pun bisa berubah. Alasan mereka adalah para ahli fiqh madinah ber[endapat bahwa
penetapan harga (al-taksir al-jabari) hukumnya bleh, sedangkan para sahabat
sebelumnya tidak memberlakukan penetapan harga. Landasan kesepakatan ini adalah
maslahah mursalah.
Demikian juga kesepakatan ulama
tentang larangan orang yang ada hubungan kekerabatan dan suami istri menjadi
saksi dalam kasus istri atau suaminya, atau sebaliknya. Landasan kesepakatan
ulama ini adalah maslahah mursalah.
Zakiyuddin Sya’ban, ahli ushul fiqh
Mesir, mengatakan bahwa ijma yang didasarkan kepada maslahah mursalah tidak
brsifat tetap dan abadi, tetapi bisa berubah sesuai dengan perkembangan
kemaslahatan itu sendiri. Karenanya jika terjadi perubahan kemaslahatan, maka
ijma’ tersebut boleh dilanggar dan ditentukan hukum lain yang lebih
mendatangkan kemaslahatan. Dengan demikian setiap ijma; yang dapat dijadikan
sumber fiqih adalah ijma’ yang mempunyai sandaran qath’I seperti ayat Al-Qur’an
atau Sunnah yang mutawatir. Maka kalau sandarannya itu dzanni seperti hadits
ahad atau qiyas masih dianggap sebagai ijma’, para fuqaha berbeda pendapat.
Jumhurul fuqaha memberikan contohnya seperti ijma’ tentang haram memakan lemak
babi yang diqiaskan dengan daging babi,dan wajib membuang minyak lampu yang
didalamnya terdapat bangkai tikus.[27]
[27] Drs. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh I.
(Jakarta : Departemen Agama, 1985). Hal : 105-106
M. Tingkatan Ijma’
a.
Ijma’ sharih
Dimana
setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang
disepakati tersebut.
b.
Ijma’ Sukuti
Dimana suatu
pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat itu
diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid
atas, tidak ada seorangpun mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam
Syafi’i tidak memasukkan Ijma’ Sukutidalam kategori Ijma’ yang
dapat dijadikan hujjah.
Ulama-ulama
yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :
1)
Tidak
memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’ (oleh imam
Syafi’i)
2)
Memasukan ijma’
sukuti dalam kategori ijma’, hanyasaja tingkat kekuatanya di
bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain Syafi’i dan Hanafi)
3)
Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) tapi
bukan termasuk kategori ijma’. (Madzhab Hanafi)
Dari 3
golongan tersebut masing-masing memiliki alasan masing-masing. Adapun
organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak
dapat dijadikan hujjah sariyyah adalah sebagai berikut :[29]
1)
Orang diam
tidakdapat dipandang sebagai orang berpendapat. Karena apa? Jika dianggap
sebagai ijma’ ini diam dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan pada
seorang mujtahid.
2)
Diam
tidakdapat di pandang sebagai setuju. Karena diamnya seorang mujtahid mungkin
setuju/tidak, mungkin berijtihad dengan masalah
tersebut/mungkin sudah tetapi belum memperoleh hasil yang mantap dan masih
banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Segala kemungkinan tersebut di atas,
maka diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menerima
pendapat seorang mujtahid.
[29] Ibid., hal. 318.
Sedang yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai
berikut :
1)
Pada
dasarnya diam tidak bisa dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung
dan berfikir.
2)
Pada umumnya
tidak semua pemberi fatwa memberikan keterangan pada suatu masalah.
3)
Diamnya
seorang mujtahid setelah merenung dan berfikir terhadap
hasil ijtihad orang lain yang bertentangan dengan hukum yang
benar menurut ijtihadnya adalah haram.
لا تجمع امتى
على الضلالة
Artinya : “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat”
II. Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma
harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai
kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama
sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat
sandaranya, ijma’ tidak akan sampai pada kebenaran.
Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih
baik dari pada nabi, sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan
suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan
dalil adalah salah. Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat
melakukan kesalahan;
Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil
tidak dapat di ketahui kaitanya kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan
dengan Syara tidak wajib diikuti
IV. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat penulis paparkan,
tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan tapi semoga saja yang kita
pelajari ini bermanfaat, dengan harapan bisa menambah pengetahuan dan keilmuan
bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangan diharapkan
untuk menjadi koreksi kedepan dan terima kasih kepada ustad ikram yang telah
membimbing saya semoga kita semua mendapat barokah dan kemanfa’atan
ilmunya. Amien
DAFTAR
PUSTAKA
Boedi Abdullah, ilmu
ushul fiqh, Bandung : CV pustaka setia, 2008
Haroen Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997
Syarifuddin Amir,
Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Khallaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang:
Dita Utama, 1994
Ash Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar
Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997
Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut:
Dar Al-fikr 1996
Suratno, dkk, modulsiap Un
Kemenag, Semarang, 2011
Syarifuddin Amir, UshulFiqh,
Fajar Interpratama, Jakarta,2009
EfendiSatria, ushulFiqh,Jakarta,
Fajar Interpratama Offset, 2005
Umar Muin, dkkUshul Fiqh I. Jakarta : Departemen
Agama, 1985
Umar Muin, dkkUshul
Fiqh I. Jakarta : Departemen Agama, 1985
Syafe’I Rahmat,Ilmu
Ushul Fiqh. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007
Majid Abdul Asy-Syarafi, Ijtihad
Kolektifterjemah Syamsuddin TU
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002)
Effendi Satria dan Zein M, Ushul
Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005)
Majid Abdul Asy-Syarafi,.
Op. Cit., 18
Qardhawi Yusuf, Ijtihad Kontemporer
(Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000)
Abdullah Sulaiman Al-Asyqor dan Nadzaratun fi Umar,Ushul il-Fiqhi (Yordania: Daar
un-Nafais)
Az-Zuhayli Wahbah, Ushul
ul-Fiqh il-Islami, jilid 1 (Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr)
Qardhawi Yusuf,Ijtihad
Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya, (Surabaya: Risalah
Gusti, 2000)