Selasa, 15 Desember 2015

makalah tentang ijm'a












Text Box: Makalah Ushul Fiqhi








 






                                                                                               




IJMA’
DISUSUN OLEH:
Muhammad tri kusmawan tandju

Guru pembinbing:
Ustad ikram arlan l.C








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................        vi
DAFTAR ISI......................................................................................................................... vii
PENDAHULUAN................................................................................................................ 4
POKOK PEMBAHASAN.................................................................................................... 5
BAB 1 PEMBAHASAN...................................................................................................... 6
PENGERTIAN DAN FUNGSI  IJMA’............................................................................... 6
RUKUN-RUKUN  IJMA..................................................................................................... 10
SYARAT  IJMA................................................................................................................... 11
KEHUJJAHAN IJMA’......................................................................................................... 12
MACAM-MACAM  IJMA’.................................................................................................. 14
FUNGSI  IJMA’................................................................................................................... 17
PROBLEMATIKA IJMA’................................................................................................... 18
CONTOH-CONTOH HUKUM YANG DIDASARI  IJMA’............................................. 19
MENGAPLIKASIKAN IJMA’........................................................................................... 19
KEDUDUKAN  IJMA’ DALAM PEMBINAAN HUKUM ISLAM................................ 22
KEDUDUKAN DAN STATUS AL-IJMA’ DALAM AJARAN ISLAM......................... 24
CARA PENGGUNAANNYA............................................................................................. 25
TINGKATAN IJMA’........................................................................................................... 26
KESIMPULAN..................................................................................................................... 28
PENUTUP............................................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 29




KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke haribaan Penguasa Semesta yang meluapkan samudra-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah ini sebagai tugas mata kuliah Ushul fiqh.

 Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Rosululloh SAW yang telah menyingkap tabir kejahiliyyahan menuju era kebebasan berfikir yakni Din Al Islam.
Semoga Allah SWT melimpahkan anugrah cinta-Nya pada kita semua.
Sehingga kita memiliki hati yang senantiasa dipenuhi oleh aura cinta-Nya yang murni.

 Sebagai manusia yang takluput dari salah pembuat makalah ini menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan .Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati,sangat mengharapakan saran dan kritik konstruktif demi penyempurnakan makalah ini.Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagidiri saya, dan bagi orang lain secara umum, denganizin-Nya

                               




















BAB I
PENDAHULUAN
Harus dikemukakan sejak awal bahwa ijma’ itu tidak terlepas dari penyandaran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, . Sebagai doktrin dan dalil syari’ah, ijma’ pada dasarnya ijma’ merupakan dalil rasional. Teori ijma’ juga jelas bahwa ia merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak konsensus mutlak dan universal sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun konsensus mutlak mengenai materi ijma’ yang bersifat rasional sering kali sulit terjadi. Adalah wajar dan masuk akal untuk hanya menerima ijma’ sebagai realitas dan konsep yang falid dalam pengertian relative, tetapi bukti factual tidak cukup untuk menentukan universalitas ijma’. Definisi klasik dan syarat esensial ijma’ sebagai mana ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat jelas bahwa tak kurang dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat dianggap sebagai ijma’ yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun ruang bagi ketidak sepakatan, atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’. Teori ijma’ juga tidak mau menerima gagasan relatifitas atau tidak mau menerima kesepakatan darinya.........................                                                                                            

Ijma’ merupakan kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atas hukum syara’ . oleh karena itu , menurut Hanafi , dalam ijma’ terkandung hal-hal berikut :
1.      Kebulatan dapat terwujud apabila pendapat seseorang sama dengan pendapat lain.
2.      Apabila ada yang tidak sependapat , tidak akan ada ijma’ tanpa kesepakatan secara keseluruhan ijma’ , tidak terjadi , tetapi pendapat terbanyak dapat dijadikan hujjah
3.      Jika pendapat di suatu masa tersebut hanya keluar dari seorang mujtahid , bukan termasuk ijma’
4.      Kebulatan pendapat harus real , artinya semua menyatakannya , baik dengan lisan , tulisan , atau isyarat .
5.      Kesepakatan yang dimaksudkan hanya berlaku untuk mujtahid , bukan yang lainnya .[1]
6.      Kebulatan pendapat dari kelompok tertentu , bukan merupakan ijma’ , sebab ijma’ disini adalah ijma’ ummah seluruh umat bersepakat .

                    



[1] Boedi Abdullah, ilmu ushul fiqh, Bandung : CV pustaka setia, 2008. Hal. 165


    Terjadinya ijma’ disebabkan oleh berbagai hal yaitu :
1.      Karena pernah terjadi , dan hal itu diakui secara mutawatir .
2.      Pada masa awal islam , para mujtahid masih sedikit dan terbatas sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan ijma’ dan menetapkan suatu hukum. Akan tetapi , melakukan ijma’ yang diakui validitasnya oleh ulama ahli ushul , hanyalah ijma’ sahabat, karena jumlah sahabat yang sedikit pada zamannya. Sahabat adalah orang yang bertemu , bergaul dengan Nabi SAW. dan banyak menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat al-qur’an .
3.      Ijma’ tidak akan terjadi , tidak akan ada dan tidak akan pernah ada , karena persoalan agama ,sejak diutusnya nabi hingga kiamat , merupakan masalah yang disepakati .[2]

II.                Pokok Pembahasan
a.       Pengertian dan fungsi ijma’
b.      Rukun-rukun ijma’
c.       Syarat ijma’
d.      Kehujjahan ijma’
e.       Macam-macam ijma’
f.       Fungsi ijma’
g.      Problematika ijma’
h.   Contoh-contoh hukum yg didasari ijma
i.    mengaplikasikan ijma’
j.    KedudukanIjma’ dalamPembinaanhukum Islam
k.Kedudukan dan Status Al-Ijma’ dalam Ajaran Islam
l.   Cara Penggunaannya
m.   Tingkatan Ijma’








[2] Ibid hal. 166
BAB II
PEMBAHASAN
A.        Pengertian dan fungsi ijma’
Ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan. Atau kesepakatan tentang sesuatu masalah.[1][1]
 Ijma' secara bahasa juga bisa diartikan ( العزم والاتفاق ) Niat yang kuat dan Kesepakatan. Dan secara istilah berarti
اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي
"Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar'."
Penjelasan :
1.      ( اتفاق ) "kesepakatan" yaitu  adanya khilaf walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma'.
2.      ( مجتهدي ) "Para mujtahid" berarti orang awam dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan khilaf mereka tidak dianggap sebagai ijma'.
3.      ( هذه الأمة ) "Ummat ini" adalah  Ijma' selain mereka (ummat Islam), maka ijma' selain mereka tidak dianggap.
4.      ( بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم ) "Setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kesepakatan mereka pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak dianggap sebagai ijma' dari segi keberadaannya sebagai dalil, karena dalil dihasilkan dari sunnah nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dari perkataan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena itu jika seorang shahabat berkata : "Dahulu kami melakukan", atau "Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ", maka hal itu marfu' secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma'.
5.      ( على حكم شرعي ) "terhadap hukum syar'i" yaitu kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah ijma' adalah seperti dalil dari dalil-dalil syar'i.



Secara etimologi, ijma’ berarti “kesepakatan” atau konsensus[3]
Pengertian ini dijumpai dalam Al-Qur’an surat An-nisa (115) :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًاوَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(QS.An-Nisa’:115)"[4]

Pengertian etimologi kedua dari ijma’ adalah  (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat Yunus, 10: 71:
... maka bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah) sekutu-sekutumu.












[3] DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.51

[4]Qs : Yusuf ayat 15      



     
Perbedaan antara pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.[5]

Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dari beberapa rumusan atau definisi ijma’ sebagai berikut:

 a) Al-Ghazali merumuskan ijma’dengan:
اتِّفَاقُ جَمِيعِ الْمُجْتَهِدِينَ مِنْ أُمَّةِمُحَمَّدٍ  فِي عَصْرٍ مَا بَعْدَ عَصْرِهِ  عَلَى أَمْرٍ شَرْعِيٍّ
Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.
Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad atau umat Islam. Pandangan Imam Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i yang menetapkan ijma’ itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’i ini mengalami perubahan dan perkembangan di tangan pengikutnya di kemudian hari.
     
 b)      Al-Amidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’:
Ijma’ adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal ‘Aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.

Kelihatannya Imam al-Amidi membatasi ijma’ itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi Muhammad, yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengungkai dan pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam hal ini orang awam tidak diperhitungkan kesepakatannya. Namun lebih lanjut terlihat, bahwa al-Amidi masih memberikan kemungkinan masuknya orang awam dalam penetapan ijma’ dengan ketentuan ia telah mampu berbuat hukum. Untuk maksud ini al-Amidi memberikan alternatif definisi ijma’ sebagai berikut:





[5]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.51


Kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.

Definisi yang dikemukakan ulama Ahl al-Sunnah berkisar di sekitar definisi yang dikemukakan al-Amidi tersebut di atas meskipun berbeda dalam perumusannya, yakni, kesepakatan orang yang bernama ulama atau ahl as-halli wa al-‘aqdi.
   
  c)      Definisi yang berbeda secara substantial adalah apa yang dikemukakan ulama Syi’ah. Mereka tidak menitikberatkan pada kata ‘semua”. Tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk tujuan ini ulama Syi’ah merumuskan definisi ijma’ sebagai berikut:

Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara’
Ulama Syi’ah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri di luar apa yang telah ditetapkan olah Qur’an dan Sunnah. Bagi mereka ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya Sunnah yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum atau terbebas dari dosa yang dalam hal ini, menurut mereka, adalah Nabi Muhammad dan Ahlul bait (Keturunan Nabi dari Fathimah serta Hasan dan Husen).

    d)     Al-Nazham (pemuka kelompok Nazhamiyah, satu pecahan dari Mu’tazilah) mengemukakan rumusan lain tentang ijma’.

Setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.
Maksudnya: “Setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah, meskipun ucapan seseorang’’.[6]





[6]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.113-114
B.      Rukun- Rukun Ijma’
Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah : kesepakatan para mujtahid lah teknis hukum atau dari umat islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat di ambil kesimpulan bahwa rukun ijma dimana menurut Syar’i ia tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaanya, adalah empat, yaitu:
           
 Pertama: adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendaapat sesuai dengan pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya di temukan seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rosululloh SAW ., karena hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.
           

Kedua: adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam terhadap hukum Syara mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri makkah dan madinah saja ataupun para mujtahid negri irak saja, atau mujtahid negeri hijaz saja, atau para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan Syi’ah sepakat atas hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesempatan kusus ini tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesempatan umum dari semua mujtahid dunia islam pada masa suatu kejadian selain mujtahid tidak masuk penilaian.
           
Ketiga: Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya Ia memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya; baik masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya pendapat mereka, atau mereka menemukakan pendapat, mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia islam mengadakan suatu konggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atau satu hukum mengenainya.           
Keempat: bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah Syar’iyah yang pasti dan meningkat.[7]

C.        Syarat Ijma’
            Di samping rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
       1)      Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
     2)      Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap     agamanya).
    3)      Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:
     1)      Para mujtahid itu adalah sahabat. 
   2)      Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya dengan ijma’ shahabat.
    3)      Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
   4)      Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya.
    5)      Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama.[8]


[7]Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm.57
[8]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.53-54


D.        Kehujjahan Ijma’
            Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut para ahli ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah al-Qur’an dan Sunnah.[9]
           
Alasan Jumhur Ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah:
     1.      Firman Allah swt. Dalam surat al-Nisa’ ayat 59:
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alah dan taatilah Rasul dan uli al-amri di antara kamu...

Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, lafal uli al-amr dalam ayat itu bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan perangkatnya). Ibn ‘Abbas menafsirkan uli al-amr ini dengan para ulama.
            Ayat lain yang dikemukakan Jumhur Ulama adalah surat al-Baqarah,ayat 143, Ali Imran ayat 110, dan al-Syura ayat 10. Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M), mengemukakan ayat lain yang dijadikan Jumhur sebagai alasan kehujjahan ijma’ , yaitu firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 115,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.


[9]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.54
Menurut al-Ghazali, ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam sebagai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan menentang Allah dan Rasul-Nya hukumnya haram.
   
2.      Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda Rasulullah saw.:
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (H.R. al-Tirmidzi)
Dalam lafaz lain disebutkan:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ يَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan.
Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ باِلجَمَاعَةِ وَإيَّاكُمْ وَالفُرْقَةَ فَإِنََّ الشَّيْطَانَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الإِثْنَيْنِ أَبْعُد[10]

Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai, karena syetan bersama yang sendiri dan dengan dua orang lebih jauh. (HR At-Tirmidzi)
Lebih lanjut Rasulullah saw. bersabda:
منْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلاّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَلَّى وَصَامَ؟ قَالَ : وَإِنْ صَلَّى وَصَامَم

Dari al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW bersabda:’Siapa yang meninggalkan jamaah sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya kecuali jika kembali. Seseorang bertanya,’ Wahai Rasulullah, walaupun dia sudah mengerjakan shalat dan puasa?’. Maka Rasulullah SAW menjawab:’Walaupun dia shalat dan puasa.’ (HR Ahmad dan at-Turmudzi)
Seluruh hadits itu menurut Abdul Wahhab Khalaf, menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits-hadits di atas, tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid mereka maka tidak ada alasan untuk menolaknya.[11]


[10]Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut: Dar Al-fikr 1996. Hal. 123
[11]DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.56

E. Macam-macam ijma’.

Macam-macam ijma’ jika dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :

1.Ijma’ Sharih:Yaitu semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya. Ijma’ sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi.
2.Ijma’ Sukuti :Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa kriteria berikut :
a.Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.
b.Keadaan diamnya para mujtahid itu cuku lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.
c.Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzanni. Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil qath’I, jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.[31]



[31] Drs. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta : Departemen Agama, 1985). Hal : 105-106
Mengenai ijma’ sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat, yaitu sebagai berikut :
1.Imam Syafi’I dan mayoritas fuqaha mengemukakan : tidak memasukkan ijma’ sukuti ini kedalam kategori ijma’.
Mereka beralasan bahwa orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang berpendapat. Oleh karena itu, jika diam dipandang sebagai ijma’, berarti diam itu dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan kepada serorang mujtahid yang belum tentu menerima pendapat tersebut.
Selain itu diam juga tidak dianggap sebagai setuju, karena dimungkinkan banyak faktor yang membuatnya diam. Misalkan diamnya mujtahid itu mungkin dia setuju, mungkin di belum berijtihad dalam masalah tersebut, atau mungkin ia telah berijtihad tapi belum mendapatkan hasil yang mantap dan banyak juga kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.
Dengan demikian, diam tidak dapat dipandang sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.
2.Sebagian fuqaha yang lain berpendapat : memasukkan ijma’sukuti dalam kategori ijma’. Hanya saja kekuatanya dibawah ijma’ sharih.
Sebagian fuqaha itu beralasan bahwa pada dasarnya diam tidak dapat dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung atau berfikir. Selain itu, pada umumnya tidak semua pemberi fatwa (mufti) memberikan keterangan pada suatu masalah. Tetapi yang umum pada setiap masa (generasi) adalah para mufti besar memberikan fatwa, sedang ulama yang lain menerimanya.
3.Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) akan tetapi tidak termasuk dalam kategori ijma’. Ulama yang berpendapat demikian, mereka beralasan bahwa meskipun ijma’ sukuti tidak memenuhi kriteria ijma’, tidak setiap orang alim mengemukakan pendapatnya, akan tetapi dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seorang ulama lebih kuat menunjukkan arti setuju, dibanding sikap menentang.


Jika ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada :
1.Ijma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I atau diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum adalah peristiwa atau kejadian yang telah ditetakan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
2.Ijma’ dzanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah dhanni. Masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Selain macam-macam ijma’ diatas, dalam kitab-kitab ushul fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang melaksanakannya.[30] Ijma’-ijma’ itu adalah :
a.Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
b.Ijma’ khulafaur rasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu hidup.
c.Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.
d.Ijma’ ahli madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah. Madzhab Maliki menjadikan ijma’ ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam.
e.Ijma’ ulama kuffah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Ijma’ tidak dipandang sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah ttidak sah. Sandaran ijma’ yang berupa dalil Al-Quran seperti firman Allah SWT. Surat An-Nisa ayat 23 :Artinya:


[30]Prof. Dr. Rahmat Safe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007). Hal. 72-73
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
F.         Fungsi Ijma’
            Yang dimaksud fungsi ijma’ di sini adalah kedudukannya dihubungkan dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu, menurut ulama Ahl as-Sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama Syi’ah, ijma’ itu adalah hanya untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’ dilihat dari sudut pandangan masing-masing kelompok.
           
Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah yang telah dianugrahkan kepada ulama yang melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.
           
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’ dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas.[13]




[13]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.133-134

   G.       Problematika ijma
Kebanyakan ahli ushul menetapkan, bahwa ijma’ menurut makna atau ta’rif yang diberikan oleh kebanyakan ahli ushul, dipandang suatu dasar dari dasar-dasar syari’at sebagai yang sudah dijelaskan.
      Akan tetapi, jika masalah ini dibahas dengan seksama, ditinjau dari segala aspeknya jelaslah bahwa : masalah menjadikan ijma’ sebagai dasar agama, atau hujjah, bukanlah masalah yang disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin walaupun mereka membenarkan ta’rif ijma’ yang telah diterangkan, menetapkan bahwa ijma’ yang seperti itu tidak mungkin terjadi.
      Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa “kemungkinan terjadinya ijma’ sesudah masa sahabat tak dapat diterima lagi karena para ulama islam telah bertebaran sampai kepelosok. Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai kata sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal yang mudah lagi, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil dan belum pernah kita dengar bahwa mereka seluruhnya telah berkumpul di kota itu untuk menyepakati sesuatu hukum. Bahkan imam Ahmad itu mengingkari terjadinya ijma’ yang diartikan dengan arti ahli ushul itu di masa sahabat sendiri. Beliau mengatakan “barang siapa mengatakan berarti ia telah berdusta”. Cukuplah ia katakan “aku tak tahu ada orang yang menyalahi pendapat ini”. Karena boleh jadi telah ada yang menyalahi yang belum sampai berita ini kepadanya.
      Abu Muslim Al Ashfahani mengatakan bahwa “ para ulama menetapkan bahwa ijma’ sahabat itu dipandang (diterima) ijma’ orang dibelakang sahabat diperselisihi. Abu Muslim menetapkan pula, bahwa ijma sesudah sahabat tak mungkin diketahui ada/terjadi. Dia menandaskan bahwa “sukar kita mengetahui ada/terjadi ijma’ selain dari ijma’ sahabat yang masih sedikit jumlah orang-orang yang dipandang ahli ijma’. Keadaan itu memungkinkan meraka berkumpul atau memberi persetujuan kepada sesuatu pendapat orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat, adapun sekarang sudah islam tersebar ke seluruh pelosok, banyak bilangan ulama, tak mungkin lagi kita meyakini ada terjadinya ijma’ (kata sepakat) diantara mereka itu. Apa yang ditetapkan Abu muslim ini itulah yang dipegang teguh oleh Ahmad yang masih dekat masanya kepada masa sahabat dan yang sangat luas hafalannya terhadap segala urusan yang dinukilkan.


      
Ringkasnya ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.[14]

H.    Contoh – contohhukum yang didasariIjma’
a.       Pengangkatan Abu Bakar as – SiddiqsebagaikhalifahmenggantikanRasulullah SAW
b.      Pembukuan Al – qur’an yang dilakukan pada masa Khalifahabubakarr.a.
c.       Menentukanawalbulanramdhandanbulansyawal..
            Ijma’ merupakansumberrujukanketiga.Jikakitatidakmendapatkandidalam Al Qur’an dandemikian pula sunnah, makauntukhal yang sepertiinikitamelihat, apakahhaltersebuttelahdisepakataiolehparaulamamuslimin, apabilasudah, makawajibbagikitamengambilnyadanberamal.[15]

I.      Mengaplikasikan Ijma’ di Zaman Kotemporer
Kontektualisasi Ijma’
1.      Ijma’ Pada Masa Klasik
Sejarah tasyri’ Islam telah menorehkan tintanya bahwa ijtihad pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan tidak seorangpun sahabat yang menafikan kenyataan itu. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Maimun bin Mahran bahwa jika khalifah Abu Bakar dan Umar dihadapkan dengan suatu pertentangan atau masalah, maka akan mencari jawabannya di dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi, dan jika tidak menemukan jawaban maka mereka akan memanggil dan mengumpulkan para tokoh kaum muslimin pada saat itu dan para ulama’ untuk diajak musyawarah, berijtihad dan mencari jawaban, dan hal ini juga dikatakan oleh al-Juwaini. Dan merupakan bukan hal yang meragukan lagi bahwa pada waktu itu tidak semua para ulama’ yang dikumpulkan, karena para ulama’ tidak dalam satu tempat tetapi tersebar di berbagai daerah seperti di Makkah, di Syam dan di Yaman dan jika menunggu keseluruhan para ulama’ terkumpul maka akan membutuhkan waktu yang  lama.  [16]ijma’ yang dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman


[14]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997. Hlm.193
[15] Drs. Suratno,dkk, Modul Siap Un Kemenag, hlm 134
[16] Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektifterjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h. 14-16.)
Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan. [17]
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa jika ada masalah yang tidak ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah maka bermusyawarah dengan para ulama’ untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Seperti khalifah Umar ketika itu mengumpulkan para sahabat untuk membahas masalah pembagian penghasilan hasil bumi Irak dan tanah-tanah taklukan lainnya yang merupakan ghanimah perang. Ternyata mereka sepakat untuk membiarkan tanah itu diolah penduduk aslinya dan tidak membagikannya kepada para pasukan. Demikianlah yang mereka lakukan sepanjang masa hayat hingga masa itu berganti dan orang-orang sepeninggal mereka menjalankan apa yang telah disepakati. [18]
2.      Ijma’ Pada Masa Modern
Salah satu hikmah yang dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi yudisial yang terbatas  sebagaimna dunia matematika yang tidak memberi kemungkinan inovasi pemikiran kreatif (ijtihad).
Seiring perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang. [19]
Para cendekiawan Islam (ulama) banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi konsensus (Ijma’). Perbedaan pendapat mereka, menurut Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dilandaskan oleh dua hal: Pertama, Penentuan para personal yang mempunyai validitas untuk berkonsensus (dianggap konsensusnya). Kedua, Penentuan corak permasalahan-permasalahan yang dianggap dalam konsensus. [20]




[17]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 127-128.
[18]Abdul Majid Asy-Syarafi,. Op. Cit., 18
[19]Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 6.
[20]Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun Fi Ushul il-Fiqhi (Yordania: Daar un-Nafais), h. 12

Terlepas dari perdebatan soal terminologisnya, ia disepakati (al-Muttafaq Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits.
Dari posisinya yang ketiga tersebut, konsensus memiliki peran signifikan & kuat dalam pengambilan hukum-hukum Islam. Apalagi ia diakui terbebas dari kekeliruan (Ma’shumun An il-Khothoi) dan kesesatan, berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW: “Umatku tidak berkonsensus dalam kesesatan” (HR. Ahmad & at-Thabarani).
Konsepsi konsensus dimulai sejak era sahabat (ash-Shahabah) setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi dengan sistem syura ketika terdapat permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Sistem syura tersebut tak lain adalah mirip dengan sistem ijtihad kolektif yang diterapkan oleh forum-forum ijtihad kolektif kontemporer. Karena menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, jika ijtihad dilakukan dengan sistem kolektif maka ia adalah konsensus (Ijma’), namun jika dilakukan secara individual maka ia adalah silogisme (Qiyas). [21]
Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa sekarang.
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu (fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i atau yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan. Hanya saja ijtihad kolektif bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid. [22]






[21]Wahbah Az-Zuhayli, Ushul ul-Fiqh il-Islami, jilid 1 (Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr), 486-48
[22]Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 138-139

J. KedudukanIjma’ dalamPembinaanhukum Islam
Jumhurulama’ berpendapat bahwa  kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al – Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al – Qur’an maupun sunnah.[23]
     Ulama ushulfiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah terjadi ijma( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.
      Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’ sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :

a.       Firman AllahSWT :
يا ايهاالذذين امنو اطيعواللّه واطيعواالرّسول واولى الامر منكم (النساء:  59 )
Artinya :
“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )
Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa dan Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati mereka.

b.      Hadist RasulullahSAW
انّ  امذتي لا تجمع على ضلالة ( رواه ابن حاجه )
Artinya :” SesungguhnyaumatKutidakakanbersepakat atas kesesatan.”
مارءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : “ apa yang dipandangolehkaummusliminbaik, makamenurutpandanganAllah juga baik.”[24]
           




[23]Prof. Dr. H. Amir S, Ushul Fiqh.( 2009), hlm. 138
[24]Drs. Suratno,dkk, Modul Siap Un Kemenag, hlm 133

Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama–sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam.

Pandanganulama’ mengenai Ijma’ sukuti :
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah  mengataka jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’.  Dan pendapat ini dianggap lebih kuat daripada pendapat perorangan.[25]










[25]Prof. Dr. H. Satria M. Zein, MA, Ushul fiqh, ( Jakarta, 2005 )

K.Kedudukan dan Status Al-Ijma’ dalam Ajaran Islam
Ijma’ bisa dijadikan hujjah atau alasan dalam menetapkan hukum kalau yang menjadi dasar adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT. Dalam QS. An-Nisa ayat 59 :    Artinya :
“ Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)….” (QS. An-Nisa : 59)
Para ulama yang menenapkan bahwa ijma’ itu hujjah, menetapkan pula bahwa ijma’ tersebut terletak dibawah derajat kitabullah dan sunnah Rasul an ijma’ itu tidak boleh menyalahi nash yang qath’I (kitabullah dan hadits masyhur).
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai hujjah ijma’ ialah nilai dhanni bukan qath’i. Karena nilai hujjah ijma’ adalah dhanni, menurut pandangan kebanyakan ulama, maka ijma’ itu dapat dijadikan hujjah atau dipegangi dalam urusan amal, tidak dalam urusan I’tikad. Mengingat dalam urusan I’tikad haruslah ditetapkan oleh dalil yang bernulai qath’i.
Menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah, jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah (argumentasi), berdasarkan dua dalil berikut :
1.Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik. Oleh karena itu amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi (hujjah).
2.Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 115
Artinya :“ Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya , dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin. Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia kedalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa : 115)[26]



[26] Drs. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta : Departemen Agama, 1985). Hal : 105-106
L. Cara Penggunaannya
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa berasal dari dalil yang qath’I, yaitu Al-Quran, Sunnah Mutawatir serta bisa juga berdasarkan dalil dhanni, seperti hadits ahad. Sedangkan ulama dzahiriyyah, syi’ah, dan ibnu Jarir Al-Thabari mengatakan bahwa landasan ijma’ itu harus dalil yang qath’i. Menurut mereka, ijma’ itu dalil yang qath’I. Suatu dalil yang qath’I, tidak mungkin didasarkan kepada dalil dzanni. Disamping itu, seorang mujtahid boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai landasan ijma”. Para ulama yang menerima maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung oleh nash yang rinci, tidak pula ditolakmoleh nash, tetapi didukung oleh sejumlah makna nash) sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum menyatakan bahwa ijma’ bisa didasarkan pada maslahah mursalah, dengan syarat apabila kemaslahatan itu berubah, maka ijma pun bisa berubah. Alasan mereka adalah para ahli fiqh madinah ber[endapat bahwa penetapan harga (al-taksir al-jabari) hukumnya bleh, sedangkan para sahabat sebelumnya tidak memberlakukan penetapan harga. Landasan kesepakatan ini adalah maslahah mursalah.
Demikian juga kesepakatan ulama tentang larangan orang yang ada hubungan kekerabatan dan suami istri menjadi saksi dalam kasus istri atau suaminya, atau sebaliknya. Landasan kesepakatan ulama ini adalah maslahah mursalah.
Zakiyuddin Sya’ban, ahli ushul fiqh Mesir, mengatakan bahwa ijma yang didasarkan kepada maslahah mursalah tidak brsifat tetap dan abadi, tetapi bisa berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan itu sendiri. Karenanya jika terjadi perubahan kemaslahatan, maka ijma’ tersebut boleh dilanggar dan ditentukan hukum lain yang lebih mendatangkan kemaslahatan. Dengan demikian setiap ijma; yang dapat dijadikan sumber fiqih adalah ijma’ yang mempunyai sandaran qath’I seperti ayat Al-Qur’an atau Sunnah yang mutawatir. Maka kalau sandarannya itu dzanni seperti hadits ahad atau qiyas masih dianggap sebagai ijma’, para fuqaha berbeda pendapat. Jumhurul fuqaha memberikan contohnya seperti ijma’ tentang haram memakan lemak babi yang diqiaskan dengan daging babi,dan wajib membuang minyak lampu yang didalamnya terdapat bangkai tikus.[27]


[27] Drs. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta : Departemen Agama, 1985). Hal : 105-106
M.  Tingkatan Ijma’
Ijma’ memiliki beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut :[28]
a.       Ijma’ sharih
Dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang disepakati tersebut.
b.      Ijma’ Sukuti
Dimana suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat itu diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid atas, tidak ada seorangpun mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam Syafi’i tidak memasukkan Ijma’ Sukutidalam kategori Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah.
Ulama-ulama yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :
1)      Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’ (oleh imam Syafi’i)
2)      Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’, hanyasaja tingkat kekuatanya di bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain Syafi’i dan Hanafi)
3)      Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) tapi bukan termasuk kategori ijma’. (Madzhab Hanafi)
Dari 3 golongan tersebut masing-masing memiliki alasan masing-masing. Adapun organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujjah sariyyah adalah sebagai berikut :[29]
1)      Orang diam tidakdapat dipandang sebagai orang berpendapat. Karena apa? Jika dianggap sebagai ijma’ ini diam dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan pada seorang mujtahid.
2)      Diam tidakdapat di pandang sebagai setuju. Karena diamnya seorang mujtahid mungkin setuju/tidak, mungkin berijtihad dengan masalah tersebut/mungkin sudah tetapi belum memperoleh hasil yang mantap dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Segala kemungkinan tersebut di atas, maka diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.






[29] Ibid., hal. 318.

Sedang yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai berikut :
1)      Pada dasarnya diam tidak bisa dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung dan berfikir.
2)      Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa memberikan keterangan pada suatu masalah.
3)      Diamnya seorang mujtahid setelah merenung dan berfikir terhadap hasil ijtihad orang lain yang bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya adalah haram.

لا تجمع امتى على الضلالة
Artinya : “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat”
























II.  Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:
           
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandaranya, ijma’ tidak akan sampai pada kebenaran.
Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada nabi, sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah salah. Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan kesalahan;
Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui kaitanya kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan Syara tidak wajib diikuti


IV.    Penutup
Demikianlah makalah yang dapat penulis paparkan, tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan tapi semoga saja yang kita pelajari ini bermanfaat, dengan harapan bisa menambah pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangan diharapkan untuk menjadi koreksi kedepan dan terima kasih kepada ustad ikram yang telah membimbing saya  semoga kita semua mendapat barokah dan kemanfa’atan ilmunya. Amien










DAFTAR PUSTAKA

Boedi Abdullah, ilmu ushul fiqh, Bandung : CV pustaka setia, 2008
Haroen  Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Syarifuddin  Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Khallaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dita Utama, 1994
Ash Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997
Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut: Dar Al-fikr 1996
Suratno, dkk, modulsiap Un Kemenag, Semarang, 2011
Syarifuddin Amir, UshulFiqh, Fajar Interpratama, Jakarta,2009
EfendiSatria, ushulFiqh,Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2005
Umar  Muin, dkkUshul Fiqh I. Jakarta : Departemen Agama, 1985
Umar Muin, dkkUshul Fiqh I. Jakarta : Departemen Agama, 1985
Syafe’I Rahmat,Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007
Majid Abdul Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektifterjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002)
Effendi Satria dan Zein M, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005)
Majid Abdul Asy-Syarafi,. Op. Cit., 18
Qardhawi Yusuf, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000)
Abdullah Sulaiman Al-Asyqor dan Nadzaratun fi Umar,Ushul il-Fiqhi (Yordania: Daar un-Nafais)
Az-Zuhayli Wahbah, Ushul ul-Fiqh il-Islami, jilid 1 (Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr)
Qardhawi Yusuf,Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000)




Text Box: GOOD LUCK
 
















[1][1]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), h. 125